TUBUH renta dengan pakaian lusuh tak
terurus, terseok-seok mendayung sepeda beroda tiga, Selasa malam (2/1), sekitar
jam 22 WIB. Laki-laki berewokan tersebut, menyusuri jalan Diponogoro menuju
belakang supermarket Barata. Sesampai
belakang toko besar yang terletak di
depan Mesjid Raya Baiturrahman itu, ia memarkir becaknya di samping sebuah
tempat yang digunakan untuk pembuangan sampah.
Satu persatu botol
plastik bekas dipungutnya. Potongan kardus bekas pun terlihat dalam becaknya.
Pria berkulit agak hitam itu selalu menunduk. Mukanya redup, seakan tersirat
kesedihan yang tiada habisnya.
Saifuddin (45) nama pria
itu. Ia hidup sebatang kara di kota yang dibanggakan masyarakat Aceh ini. Tak
ada sanak saudara maupun keluarga yang menemani. Tiga anak dan istri
tercintanya meninggal saat Tsunami 2004 silam. Hanya ibu angkat yang masih
hidup di Meulaboh, Aceh Barat sana. Karena hal ini lah hidupnya kini seperti
tak berarah. Tak ada benih harapan yang tersemat di raut wajahnya. Hidup seakan
sangat menyiksanya.
Dunia terasa tak adil
baginya. Tidak sedikpun harta yang ia miliki, kecuali becak tua dan bebepa
potong pakaian lusuh yang Ia kenakan serta yang disimpan di tempat tinggalnya.
Ia sempat mengeluarkan sepatah kata. Keinginannya untuk membeli becak bemesin.
Sebuah cita-cita yang mungkin disebabkan karena tenaganya sudah melemah,
seiring umurnya yang mendekati uzur. Tapi apalah daya, jangankan untuk beli
becak rumah pun ia tak punya.
“Sekarang saya hanya
tinggal di gudang,” ujarnya dengan nada datar.
Memang sejak tahun 2008,
Ia nya numpang di gudang pembeli barang bekas. Tepatnya di depan warung
bernama Sagoe Kupi yang terletak di Lampaseh Aceh, Kecamatan Meuraksa,
Banda Aceh. Di kamar gudang beratap dan berdinding seng yang berukuran sekitar
tiga meter persegi tersebut lah ia tinggal bersama dengan tiga pemulung
lainnya, ditemani alas papan dan kasur tipis yang kian lusuh dimakan usia.
Saban hari, Ia menyusuri
tiap sudut gang sekitar Ibu Kota Pemerintah Aceh ini dengan becak dayung yang telah
keropos karena karatan. Mulai pagi hingga jam 12 malam. Dengan penghasilannya
rata-rata Rp30 ribu per hari, mungkin hanya cukup untuk beli makan tiga kali
saja. Itulah pekerjaan yang tiap hari ia tekuni, sembari menjalani sisa
umurnya.
Potret laki-laki
kelahiran Krueng Raya Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar ini, merupakan salah
satu gambaran dari ratusan pemulung di Aceh yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Sampai hari ini, kebanyakan mereka belum mendapat perhatian serius
sama sekali dari pemerintah. Baik itu dari pemerintah kabupaten kota maupun
Pemerintahan Aceh.
Miris memang. Dengan
APBA dan APBK yang selalu meningkat setiap tahunnya, sayangnya anggaran
tersebut tidak pernah mengalir untuk rakyat kecil seperti mereka. Dan ini lah
lukisan kota kami. Aceh yang damai dan tenteram. Setentram Saifuddin
menyelimuti dirinya dengan kardus-kardus yang Ia kumpulkan dengan roda
tiganya.[]
0 Komentar untuk "Rumah Pun Ia Tak Punya"