pasang

Perempuan Aceh harus Belajar dari Sejarah



#Inspirasi Dari Peraih Nobel Perdamaian  2011#
Banda Aceh- Sore Rabu (14/12) warung kopi yang terletak samping gerbang masuk Hemes Falace Hotel terlihat ramai seperti biasa,  hanya saja pengunjung sore Rabu pertengahan desember 2011 itu lebih didominasi kaum hawa.

Tiga mobil pribadi dan belasan kenderaan  roda dua yang  dipakir depan warung  3Ins 1 Coffee, Hampir jam 16.00 wib, beberapa remaja putri terlihat memasuki warung kopi (warkpo) yang terletak di lampineung, Banda Aceh itu. Lantai satu terlihat remaja – remaja cowok lagi santai denggan laptop  didepannya, dilantai dua warung bercat hijau daun itu susana masih terlihat sepi hanya tiga anak manusia yang terlihat dari luar ruangan bebas asap rokok itu. 

Salah satunya perempuan berkulit putih, ia terlihat mandar mandir dalam ruang berkapasitas empat puluhan perserta itu. Rizki Afiat namanya, ia alumnus  FISIP Universitas Indonesia.
Setelah Shalat ashar, puluhan tamupun mulia memadati ruangan lantai dua , sekitar belasan laki-laki, selebihnya adalah kaum hawa, mulai dari mahaswi, ibu-ibu aktivis.

Jam hampir jam 16.30 Acara yang ditunggu-tungupun dimulai, panitia mulai membagi modul dan  Rizki Afiat membuka diskusi publik yang bertajuk “ Perempuan Melawan dengan Damai” itu. Acara dimulai dengan menonton video You tube di TV yang terpasang didepan dinding ruangan, you tube  yang memperliahat kronologis perjuangan tiga perempuan peraih Nobel Perdamaian 2011 yang diserahkan Jumat 7 Oktober lalu. Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Liberia; Leymah Gbowee, aktivis perdamaian dari Liberia; dan Tawakkol Karman, aktivis pro-demokrasi dari Yaman.

Setelah nonton bareng usai, Delfi Roni, menjelas sejarah pemberian nobel, setiap tahunnya pemberian nobel tidak terlepas dari subjektivitas, masalah politik mendominasi pemberian penghargaan bergengsi itu, ia mencontohkan Mahatma Gandhi, tokoh Revolusi India itu  pernah beberapa kali difaforit sebagai peraih Nobel Perdamaian, tapi karena masalah  politik negara inggris dengan negara pemberi Nobel, Norwegia,  sehingga Gandhi ter eliminir. Mahasiswa program doktoral Universitas Helsingky ini pemateri pada acara yang diadakan Liga Inoeng (LINA) tersebut.  

Dulu, Aceh Pernah dipimpim oleh empat perempuan, dari tahun 1641 - 1699, setelah Iskandar Muda meninggal.  Ada Tajul Alam Safiatuddin Syah, Nur Alam Nakiatuddin Syah, Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Kumala Syah. 

Selanjutnya masa kolonialisme barat di Asia Tenggara, Perempuan Aceh Kembali Lahir sebagai Pemoimpin Perlawanan, yaitu Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut Mutia dan beberapa lainnya. Perempuan aceh terakhir yang muncul ketika Aceh bergolok mulai tahun 1976-2005, juga melahirkan Lider tunggal perempuan Aceh, Cut Nur Asikin, mereka merupakan, Pemimpin Aceh, juga Tokoh perempuan Aceh dalam pergerakan, ini Perempuan Aceh kelas dunia yang patut dicontoh”, jelas Rahmatan, ia pemateri sekaligus Humas LINA.

Itulah beberapa tokoh perempuan Aceh yang berani memimpin, melawan, dan membela rakyat tanah rencong ini, mereka adalah pahlawan bangsa Aceh.  Selain setia pada bangsa dan tanah air, mereka juga perempuan yang setia dan penuh pengabdian pada suami. Mulai 2005 sam hari ini 15 desember 2011, belum ada perempuan Aceh yang berani tampil sebagai pemimpin dilevel Aceh, seperti perempuan Aceh masa silam.

“Tidak mustahil pencapaian itu bisa diarih kembali oleh perempuan Aceh masa kini, mereka harus mulai melakukan perubahan yang di mulai dari aspek budaya, dalam hal ini pendidikan,  harus berani berbuat dan melakukan hal-hal yang besar, yaitu dengan  membangun poros baru, seperti poros sosial, ekonomi, budaya, dan poros politik. Hal ini akan bisa dilakukan apabila Perempuan Aceh telah memperkuat kapasitas diri maupun kolektif, itulah yang dilakukan oleh perempuan kelas Dunia masa kini”, tutup Roni.

Tiga Perempuan Peraih Nobel Perdamaian 2011

Benar-Benar perjuangan yang besar, berat, dan penuh resiko. seperti perjuangan perempuan  kelahiran 7 februari 1979, provinsi Taizz, Yaman. Ia merupakan anak seorang pejabat yang menggundurkan diri dari kabinet Presiden Ali Saleh, Alummnus Universitas Yaman ini adalah aktivis pro-demokrasi menentang Rezim Presiden Ali Abdullh Saleh yang telah berkuasa lebih dari 33 tahun, Tawakkol Karman nama ibu tiga anak itu.

Mulai tahun 2005 ia mendirikan lembaga wanita yang bernama Women journalists Without Chains, yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM), sejak 2007 Perempuan ber umur 32 tahun itu memulai aksinya setiap hari selasa digedung Parlemen Yaman, keberanian dan semangatnya dalam menentang Rezim Presiden Ali Abdullah Saleh telah mengantarkannya beberapa kali kepenjara. wartawan yang juga anggota partai Islam, Islah itu merupakan pemenang nobel termuda sepanjang 110 tahun sejarah nobel. 

Dua perempuan lain adalah, Ellen Johnson-Sirleaf, dan Leymah Gbowee. Ellen Johnson-Sirleaf adalah ahli ekonomi lulusan Harvard yang menjadi presiden wanita pertama di Afrika, ia terpiih secara demokratis pada tahun 2005 lalu. Perempuan berumur  72 tahun itu dianggap sebagai reformis dan pencipta perdamaian di Liberia. Ia  dinilai berhasil menjaga perdamaian dan memfasilitasi kedua kubu yang bertikai dalam perang saudara selama belasan tahun yang baru berhenti 2003 silam.

Dan Leymah Gbowee, ia pendiri kelompok wanita Muslim dan Kristen di liberia, untuk melawan tuan tanah. Karena jasanya membentuk karakter perempuan yang berani, Gbowee pada 2009 mendapat penghargaan Profile in Courage, sebuah penghargaan untuk keberanian. 

Ketiga wanita ini mendapatkan Nobel perdamaian atas perjuangan mereka dalam melibatkann perempuan dalam perdamaian dan keamana dan mengangkat  hak-hak perempuan tanpa kekerasan.
 .
Nobel perdamaian diberikan tiap tahun sejak 1901.
Mulanya diberikan untuk bidang: fisika, kimia, fisiologi atau kesehatan, sastra dan perdamaian. Penyelenggaranya Yayasan Nobel, Stockholm, Swedia, yang didirikan Sveriges Riksbank pada 1968, untuk mengenang Alfred Nobel sebagai penggagas Hadiah Nobel. Selain medali dan piagam, pemenang Nobel juga mendapat sejumlah uang tunai. Tahun ini, hadiah uang sebesar 10 juta kronor atau sekitar 1,5 juta dolar AS untuk tiga pemenang wanita tersebut.
Iklan 655 x 60
0 Komentar untuk "Perempuan Aceh harus Belajar dari Sejarah"

Back To Top